SURABAYA – Kritik merupakan fenomena bahasa yang mudah masyarakat jumpai dalam kehidupan sehari-hari. Namun, pemahaman masyarakat terhadap kritik masih kacau. Mereka sering kali memaknai kritik sebagai bentuk kekerasan verbal seperti halnya menghina, mencaci, memaki, dan lain-lain. Akibatnya, perbedaan makna tersebut dapat menimbulkan pro-kontra dan bahkan memicu terjadinya konflik.
Pernyataan tersebut dipaparkan langsung oleh Prof Dr Edy Jauhari Drs MHum saat pengukuhan guru besar pada Rabu (18/10/2023) di Aula Garuda Mukti, Kampus MERR-C UNAIR. Dalam prosesi tersebut, ia resmi menyandang gelar guru besar dalam bidang Ilmu Pragmatik, Fakultas Ilmu Budaya (FIB), Universitas Airlangga (UNAIR).
Perbedaan Kritik dan Kekerasan Verbal
Edy menjelaskan bahwa kritik adalah ungkapan yang berisi evaluasi negatif terhadap perilaku atau perbuatan seseorang. Evaluasi negatif tersebut bertujuan untuk mendorong penerima kritik agar dapat berintropeksi diri sehingga menjadi lebih baik dari pada sebelumnya. Oleh karena itu, tidak bisa menyamakan kritik dan kekerasan verbal karena keduanya memiliki perbedaaan yang sangat mendasar
Baca juga:
Anies Baswedan di Mata Seorang Surya Tjandra
|
“Kritik memiliki tujuan sosial, sedangkan kekerasan verbal tidak memiliki tujuan sosial. Sasaran dari kritik adalah tindakan, perilaku, kebijakan, sedangkan sasaran dari kekerasan verbal sering berupa keadaan fisik atau keadaan mental seseorang, ” jelas dosen program studi Bahasa dan Sastra Indonesia itu.
“Lalu, kritik memperhatikan kesantunan, kekerasan verbal tidak. Kritik menghindari penggunaan kata - kata kotor, makian, dan umpatan, sedangkan kekerasan verbal banyak menggunakan kata-kata kotor dan umpatan. Dasar kritik adalah pelanggaran norma, sedangkan kekerasan verbal berdasar atas rasa tidak suka dan amarah, ” sambungnya.
Fungsi Dasar Kritik sebagai Kontrol Sosial
Dalam penelitiannya, Edy mengungkapkan bahwa kritik memiliki fungsi dasar sebagai wahana kontrol sosial. Dalam hal ini, kontrol sosial adalah upaya untuk mencegah adanya penyimpangan sosial sekaligus mengajak masyarakat untuk bersikap sesuai nilai dan tata krama yang berlaku. Tersebab itu, kritik akan berkaitan erat dengan pelanggaran norma yang ada dalam masyarakat. Ia menuturkan, ada empat hal yang perlu dicatat terkait fungsi kritik sebagai kontrol sosial.
“Pertama, kritik hanya mungkin terjadi manakala terjadi pelanggaran norma. Kedua, pelanggaran norma itu harus terjadi secara eksplisit dan spesifik atau bisa diidentifikasi berdasarkan konteksnya. Ketiga, yang bisa menjadi sasaran kritik adalah tindakan, atau kebijakan. Keadaan fisik seseorang, suku, ras, agama, kitab suci tidak bisa menjadi sasaran kritik. Terakhir, kritik mempunyai tujuan sosial, kritik bersifat konstruktif, bukan bersifat destruktif-konfliktif, ” paparnya.
Pada akhir, Edy menegaskan bahwa kritik rawan mengancam muka. Oleh karena itu, kritik tidak dapat dikemukakan secara sembarangan. Agar muka penerima kritik tidak terlalu terancam, pelaku kritik harus memiliki kemampuan menggunakan strategi kritik secara tepat.
“Ketika hendak melakukan kritik, pelaku kritik perlu mempertimbangkan kedudukan sosial penerima kritik, tingkat keakrabannya dengan penerima kritik, dan kadar imposisi kritik yang akan dikemukakan. Penggunaan strategi kritik yang tidak tepat atau tidak cocok bisa rawan mengancam muka dan bahkan bisa menimbulkan ketegangan atau konflik antara pelaku kritik dan penerima kritik, ” pungkasnya. (*)
Penulis: Rafli Noer Khairam
Editor: Binti Q. Masruroh